“Tantangan besar bukan untuk menjatuhkanmu, tapi untuk membuktikan bahwa dirimu lebih besar dari tantangan itu.”
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Apa kabar semuanya? Semoga kalian selalu dalam keadaan sehat dan dilancarkan rezekinya. Pada pertemuan perdana ini, kami akan menyuguhkan sebuah cerita jenaka berjudul “Abu Nawas Pergi ke Bulan.”
Seperti biasa, Raja Harun Al-Rasyid selalu punya cara untuk menguji kecerdikan Abu Nawas. Ia tidak pernah bosan dibuat kagum oleh kecerdikan pria jenaka itu. Kali ini, sang raja memberikan perintah yang mustahil:
“Abu Nawas, pergilah ke bulan!”
Tentu saja, pada zaman itu belum ada mobil, motor, apalagi pesawat antariksa. Jelas sekali perintah ini hanyalah ujian kecerdikan.
“Pergi ke bulan?” tanya Abu Nawas terkejut.
“Ya, Abu. Aku tahu kau adalah pria yang pintar. Kau harus bisa melakukannya,” jawab sang raja.
Abu Nawas berpikir sejenak, lalu menjawab dengan cepat:
“Baiklah, Yang Mulia. Besok sore saya akan pergi ke sana.”
Raja pun terkejut, tak menyangka Abu Nawas berani mengiyakan tantangan itu.
“Dari mana kau akan berangkat?” tanya sang raja.
“Dari rumahku, Yang Mulia,” jawab Abu Nawas.
“Baiklah. Kalau begitu, besok malam aku akan datang ke rumahmu untuk menyaksikanmu pergi ke bulan,” kata sang raja.
Malam Keberangkatan
Malam pun tiba. Bulan purnama bersinar terang, bintang-bintang berkilauan di seluruh penjuru langit. Raja Harun Al-Rasyid bersama para menterinya mendatangi rumah Abu Nawas.
Namun, Abu Nawas sudah tidak ada di rumah. Mereka hanya bertemu dengan istrinya.
“Di mana Abu Nawas?” tanya sang raja.
“Ia baru saja berangkat ke bulan, Yang Mulia. Katanya, sebentar lagi ia akan kembali,” jawab istrinya.
Salah satu menteri penasaran dan bertanya, “Bagaimana caranya Abu Nawas pergi ke bulan?”
“Ia memanjat pohon palem di sana. Nanti ia akan kembali turun lewat pohon itu juga,” jelas sang istri.
Abu Nawas Kembali
Raja dan para menteri pun menghampiri pohon palem yang ditunjukkan. Mereka melihat bayangan seseorang yang sedang turun dari atas pohon.
“Itu kau, Abu Nawas?” tanya sang raja.
“Iya, Baginda. Ini saya,” jawab Abu Nawas.
“Apakah kau benar-benar meneliti bulan dari pohon itu?” tanya sang raja.
“Bukan begitu, Yang Mulia. Pohon ini hanya sarana. Saya bisa pergi ke bulan ketika bulan mencapai tanah. Jadi, sebenarnya saya sudah melakukan perjalanan ke sana,” jawab Abu Nawas tenang.
Raja tersenyum mendengar penjelasan itu.
“Kalau begitu, apa yang kau lihat di bulan?” tanyanya lagi.
“Tidak ada apa-apa, Yang Mulia. Hanya tanah, gunung-gunung, dan sedikit tumbuhan di sana,” jawab Abu Nawas.
“Kalau Baginda tidak percaya, saya punya banyak saksi. Bukan hanya satu atau dua, melainkan ribuan.”
“Siapa saksimu?” tanya sang raja penasaran.
“Bintang-bintang itu adalah saksi saya. Baginda bisa menanyakannya langsung kepada mereka,” kata Abu Nawas sambil menunjuk langit.
Raja pun tertawa terbahak-bahak mendengar kecerdikan Abu Nawas.
“Mengapa kau tidak menunggu kami menyaksikanmu pergi ke bulan?” tanya sang raja.
“Maaf, Yang Mulia. Waktu keberangkatan saya terbatas. Saya hanya bisa pergi ke bulan pada saat tertentu saja,” jawab Abu Nawas.
Raja dan para menterinya akhirnya mengakui kecerdikan Abu Nawas.
“Ketika logika terbatas, biarkan imajinasi dan kecerdikan membawamu
melampaui batas.”
Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.