Selasa, 11 November 2025

Ilmu 3 Tahun, menjadi 1 Menit

 

“Kadang yang kau cari di puncak ilmu justru tersembunyi dalam kesederhanaan orang lain.”

Assalamualaykum wr wb

Suatu ketika, pada abad ke-18 di Italia, hiduplah seorang pemuda bernama Luka.

Selama lima tahun, ia menempuh pendidikan di Akademi Lukis ternama — tempat para bangsawan menitipkan anak-anak berbakat dalam seni. Luka dikenal sebagai murid terbaik: tekniknya rapi, komposisinya seimbang, dan setiap goresan kuasnya tampak sempurna.

Saat kelulusan tiba, semua yakin masa depan Luka akan gemilang. Benar saja, setelah ia membuka galeri kecil di pusat kota Florence, lukisan-lukisannya laku keras. Orang-orang memuji keindahan dan ketepatan warnanya. Luka pun menjadi terkenal dan kaya dalam waktu singkat.

Namun, di sisi lain jalan, ada seorang pelukis tua bernama Tuan Mario.
Ia bukan lulusan akademi, hanya pelukis jalanan sederhana yang hidup dari koin turis. Tapi sejak Luka datang, kios Mario semakin sepi — sampai suatu ketika, keadaan berbalik.

Ketika Warna Mulai Pudar

Lukisan-lukisan Luka yang dulu dipuja mulai memudar.
Warna-warnanya kusam, bentuknya kehilangan pesona.
Sementara itu, karya Tuan Mario justru semakin banyak dicari.
Warna-warnanya tetap cerah dan hidup meski telah bertahun-tahun berlalu.

Luka mulai gelisah. Ia mencoba mencari tahu rahasia sang pelukis tua: mencampur bahan baru, membeli cat dari Paris, membaca ulang buku-buku kuliah — namun semua gagal.
Semakin keras ia berusaha, semakin besar rasa frustrasinya.
Ia bahkan menjual beberapa lukisan lamanya untuk membiayai percobaan-percobaan baru.
Tiga tahun berlalu, dan seluruh tabungannya habis. Namun, rahasia itu tetap tak terpecahkan.

Ego dan Kejatuhan

Kini, galeri Luka sepi.
Lukisan-lukisan yang dulu digantung di rumah para bangsawan diturunkan karena pudar.
Ia kehilangan nama, uang, dan keyakinan diri.

Suatu malam, di studio yang berantakan, Luka duduk termenung di depan kanvas kosong.
Di tangannya, sepucuk surat dari gurunya di Akademi:

“Kau adalah harapan masa depan Italia.”

Ia menutup surat itu dengan mata basah.
“Lima tahun aku belajar teori warna, perspektif, dan anatomi, tapi seorang kakek jalanan bisa menyalipku hanya dengan satu rahasia cat…” gumamnya.

Untuk pertama kalinya dalam hidup, Luka merasa bodoh.
Ego dan gengsi telah menahannya untuk bertanya pada sang pelukis tua.

Pertemuan yang Merendahkan Hati

Suatu pagi yang sejuk, Luka akhirnya memberanikan diri menemui Tuan Mario.
Sang pelukis tua duduk tenang di bangku kayu, melukis pemandangan sungai dengan tangan yang gemetar, tapi mata yang teduh.

“Ah, anak muda,” sapa Mario dengan senyum hangat.
“Sudah lama aku tak melihatmu di sini. Bagaimana kabarmu?”

Luka terdiam beberapa saat, lalu berkata pelan,
“Tuan Mario… saya ingin bertanya tentang warna lukisan Anda.”

Mario menatapnya, lalu tertawa kecil.
“Akhirnya kamu datang juga. Aku tahu sejak awal kau akan bertanya. Tapi aku tak akan memberitahumu sebelum kau datang sendiri — dengan hati yang rendah.”

Ia lalu mengambil botol kecil dari bawah meja, meneteskan sedikit cairan ke cat merah, dan mengaduknya perlahan.
“Inilah rahasianya,” katanya sambil tersenyum.
“Setetes minyak biji rami.”

Luka terdiam lama.
Selama bertahun-tahun ia kehilangan segalanya, hanya karena gengsi untuk bertanya.
Satu pertanyaan yang seharusnya ia ajukan sejak dulu kini menyelamatkan hidupnya.

Tuan Mario menepuk bahunya lembut dan berkata,

“Jangan malu, anak muda. Aku pun dulu sepertimu.
Kadang butuh waktu lama bagi seseorang untuk mengerti bahwa ilmu sejati datang dari kerendahan hati, bukan dari gelar.”

Pelajaran yang Mengubah Hidup

Luka pulang ke studionya dengan hati yang ringan.
Ia mencoba menambahkan minyak biji rami ke dalam catnya, dan hasilnya menakjubkan — warnanya cerah, tajam, dan mengkilap.
Namun, yang lebih penting dari itu, ia menemukan makna sejati dalam belajar.

Bertahun-tahun kemudian, banyak pelukis muda datang belajar kepadanya.
Dan setiap kali ada murid yang sombong, Luka hanya tersenyum dan berkata:

“Jangan biarkan egomu lebih besar dari kuasmu,
karena terkadang rahasia terbesar dalam hidup
hanya butuh satu menit dan sedikit kerendahan hati untuk kamu temukan.”

Wassalamualaykum wr wb


“Kadang rahasia terbesar tak ada di buku, tapi di kerendahan hati untuk bertanya.”


JANGAN LUPA BERPRASANGKA BAIK 


Minggu, 09 November 2025

Kecerdikan Abu Nawas Memindahkan Istana Raja

Setiap jebakan bisa jadi jalan kemenangan, bila disikapi dengan ketenangan.


 
Assalamualaikum wr. wb

Suatu hari, Raja Harun Ar-Rasyid tampak tersenyum-senyum sendiri. Ia baru saja membaca kisah tentang Nabi Sulaiman, raja bijak yang memiliki kekuasaan luar biasa — bahkan mampu memindahkan istana Ratu Balqis hanya dengan izin Allah.

Dalam benaknya, sang Raja berkhayal,
“Alangkah indahnya bila istanaku berada di atas gunung. Aku bisa menikmati pemandangan negeriku dari ketinggian.”

Namun, ia kemudian tertawa kecil.
“Tapi… siapa yang sanggup melakukannya?” pikirnya.

Tiba-tiba ia teringat pada Abu Nawas. Sebuah senyum licik muncul di wajahnya.
“Ah, ini kesempatan bagus untuk menjebak Abu Nawas. Aku akan memerintahkannya memindahkan istana ini ke atas gunung. Kalau gagal, aku punya alasan untuk menghukumnya.”

Sang Raja pun memerintahkan prajurit untuk menjemput Abu Nawas.

Tantangan Mustahil dari Raja

Saat prajurit datang, Abu Nawas sedang beristirahat di rumahnya.
“Wahai Abu Nawas,” kata prajurit, “Paduka Raja memerintahkan engkau segera menghadap ke istana.”

Abu Nawas terkejut, tapi ia tak berani menolak.
Sesampainya di istana, ia langsung bersujud hormat.
“Apakah gerangan yang membuat Paduka memanggil hamba?” tanyanya.

Sang Raja tersenyum ramah.
“Abu Nawas, kemarilah dan duduklah di sampingku. Aku ingin berbicara.”

Abu Nawas pun duduk, sementara Raja mulai bercerita.
“Aku baru membaca kisah Nabi Sulaiman yang menakjubkan — beliau mampu memindahkan istana Ratu Balqis ke hadapannya. Setelah membaca itu, aku jadi ingin memindahkan istanaku ke atas gunung agar bisa menikmati pemandangan negeri ini dari sana.”

Abu Nawas menatap Raja dengan heran.
“Maksud Paduka… hamba diperintahkan untuk memindahkan istana Paduka ke atas gunung?”

“Betul sekali,” jawab sang Raja. “Aku tahu engkau cerdik, pasti bisa melakukannya. Tapi ingat, bila gagal, hukuman menantimu.”

Abu Nawas menelan ludah. Keringat dingin mulai membasahi dahinya. Ia tahu, itu mustahil. Namun, ia juga tahu, menolak berarti celaka.

Akhirnya, dengan terpaksa ia menjawab, “Baiklah, Paduka. Hamba akan mencoba.”

“Bagus,” kata Raja. “Aku beri kau waktu sebulan.”

Rencana Cerdik Abu Nawas

Hari demi hari berlalu, Abu Nawas tak kunjung menemukan ide. Ia memikirkan segala cara, namun semuanya tampak mustahil. Sampai akhirnya, sebuah ide cemerlang muncul di benaknya.

Tanpa menunggu waktu, ia langsung menghadap Raja.

“Wahai Abu Nawas,” kata Raja heran, “belum sebulan berlalu, apakah engkau sudah siap memindahkan istanaku?”

“Bukan begitu, Paduka,” jawab Abu Nawas tenang. “Hamba hanya ingin menyampaikan usul agar tugas besar ini berjalan lancar.”

“Apa usulmu itu?” tanya Raja.

“Sebentar lagi hari raya Idul Adha tiba — hari yang suci bagi umat Islam. Hamba bermaksud memindahkan istana Paduka tepat pada hari raya kurban itu.”

Raja tampak tertarik. “Aku setuju. Tapi apa syaratmu?”

“Syaratnya sederhana, Paduka,” jawab Abu Nawas. “Paduka harus menyembelih sepuluh ekor sapi gemuk untuk dibagikan kepada fakir miskin.”

Raja tersenyum puas. “Baiklah, aku setuju.”

Abu Nawas pun pamit pulang dengan perasaan lega dan gembira.

Hari Pemindahan Istana

Tibalah hari raya Idul Adha. Gema takbir berkumandang, menandakan hari suci telah tiba. Di istana, Raja dan para menterinya sudah berkumpul, menanti kedatangan Abu Nawas.

Tak lama kemudian, Abu Nawas muncul dengan wajah tenang. Semua mata tertuju padanya, penuh rasa ingin tahu.

“Wahai Paduka Raja,” katanya, “apakah semua orang sudah meninggalkan istana?”

“Sudah,” jawab Raja.

“Baiklah, kalau begitu, hamba akan mulai memindahkan istana Paduka.”

Abu Nawas lalu jongkok, menundukkan badan seolah bersiap mengangkat sesuatu yang berat. Ia diam cukup lama.

Raja yang heran akhirnya bertanya,
“Hai Abu Nawas, apa yang kau tunggu? Kenapa kau tidak segera memindahkan istanaku?”

Abu Nawas menjawab dengan tenang,
“Paduka yang mulia, hamba sudah siap sejak tadi. Hamba hanya sedang menunggu semua orang memindahkan tanah tempat istana berpijak ke atas pundak hamba, agar istana ini bisa hamba pindahkan ke gunung sesuai perintah Paduka.”

Raja terdiam. Para menteri saling pandang, lalu tertawa. Semua menyadari kecerdikan Abu Nawas.

Sang Raja akhirnya ikut tersenyum dan berkata,
“Abu Nawas, kau memang selalu punya cara untuk membuatku tak bisa marah.”

Dan sekali lagi, Abu Nawas lolos dari jebakan Raja dengan akalnya yang luar biasa.

Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.


Kecerdikan dan ketenangan hati mampu menaklukkan masalah sebesar gunung.


JANGAN LUPA BERPRASANGKA BAIK

ABU NAWAS MENDAPAT TANTANGAN BERBAHAYA

Humor yang lahir dari kecerdasan mampu menaklukkan keangkuhan.

 Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Suatu hari, di sebuah warung kopi, beberapa teman lama tengah asyik berbincang. Mereka membicarakan kecerdikan Abu Nawas yang selalu berhasil mengalahkan tantangan dari Raja Harun Ar-Rasyid.

“Abu Nawas memang luar biasa,” kata salah satu dari mereka. “Setiap kali Raja menantangnya, pasti dia menang dan pulang membawa hadiah.”

Namun, seorang di antara mereka tiba-tiba berkata dengan nada menantang,
“Aku punya ide tantangan yang pasti tidak akan bisa dilakukan Abu Nawas. Kalau dia berani melakukannya, bisa-bisa dia dipancung oleh Raja!”

Teman-temannya terkejut. “Tantangan apa itu?” tanya mereka penasaran.
“Aku akan menantang Abu Nawas… untuk memantati Paduka Raja!” jawabnya lantang.

Tak lama kemudian, Abu Nawas datang ke warung itu.
“Nah, itu dia orangnya!” seru salah satu dari mereka.

“Ada apa, kawan?” tanya Abu Nawas.

“Kami semua tahu, kamu sering membuat Paduka Raja kewalahan. Apa pun tantangan dari Raja selalu bisa kamu kalahkan. Tapi kali ini, kami punya tantangan untukmu — kalau berani!

Abu Nawas tersenyum tenang. “Tidak ada yang perlu ditakuti selain Allah,” jawabnya.

Temannya berkata, “Selama ini, belum ada seorang pun yang berani memantati Raja. Itu pelecehan berat, hukumannya pasti pancung.”

Abu Nawas mengangguk, “Tentu saja belum ada yang berani. Tapi kalau aku bisa melakukannya tanpa dihukum, apa hadiahnya?”

“Seratus keping emas,” jawab mereka. “Tapi syaratnya, Raja harus tertawa ketika kamu melakukannya.”

Abu Nawas tersenyum lebar. “Baiklah, aku terima tantangan itu.”

“Kapan kamu akan melakukannya?” tanya mereka.
“Minggu depan, saat jamuan kenegaraan di istana. Kalian boleh datang menyaksikannya,” jawab Abu Nawas mantap.

Hari yang Dinanti

Seminggu kemudian, tibalah hari jamuan besar di istana. Para menteri, pegawai kerajaan, dan tamu kehormatan telah berkumpul. Namun, Abu Nawas belum juga terlihat.

Teman-teman lamanya mulai berbisik, “Sepertinya dia takut. Akhirnya Abu Nawas kalah juga.”

Satu per satu sambutan disampaikan, hingga akhirnya tiba giliran Paduka Raja memberikan pidato penutup. Semua tamu diam menyimak.

Tiba-tiba, di tengah pidato itu, datanglah Abu Nawas. Ia tidak duduk di kursi para tamu, melainkan di atas tanah di halaman istana, paling belakang.

Raja melihatnya dan heran. “Hai Abu Nawas, majulah dan duduklah di atas karpet. Nanti pakaianmu kotor karena duduk di tanah.”

Ampun, Paduka yang mulia,” jawab Abu Nawas sopan. “Sebenarnya hamba sudah duduk di atas karpet.”

Raja bingung. “Karpet yang mana? Aku tak melihat kau membawa karpet.”

Abu Nawas menjawab, “Karpet hamba sendiri, Paduka. Sekarang hamba selalu membawanya ke mana pun pergi.”

Raja semakin penasaran. “Tunjukkan karpetmu itu,” perintahnya.

“Baiklah, Paduka yang mulia,” kata Abu Nawas sambil berdiri dan melangkah maju.

Begitu ia sampai di hadapan Raja, Abu Nawas berbalik badan dan menunduk sedikit. Tampaklah sepotong karpet kecil yang menempel di bagian belakang celananya.

Raja yang melihat pemandangan itu langsung terdiam sejenak, lalu meledak dalam tawa. “Hahaha! Abu Nawas, kau benar-benar tak pernah kehabisan akal!”

Seluruh tamu istana pun ikut tertawa terbahak-bahak.

Teman-teman Abu Nawas hanya bisa saling pandang, kagum dan malu. Mereka akhirnya mengakui kekalahannya. Tak ada yang menyangka, Abu Nawas bisa memantati Raja — tanpa menyinggung, malah membuat tertawa!

Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Kecerdikan sejati bukan tentang mempermalukan, tapi tentang membuat orang tersenyum tanpa merasa direndahkan.

JANGAN LUPA BERPRASANGKA BAIK