Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Suatu hari, di sebuah warung kopi, beberapa teman lama tengah asyik berbincang. Mereka membicarakan kecerdikan Abu Nawas yang selalu berhasil mengalahkan tantangan dari Raja Harun Ar-Rasyid.
“Abu Nawas memang luar biasa,” kata salah satu dari mereka. “Setiap kali Raja menantangnya, pasti dia menang dan pulang membawa hadiah.”
“Ada apa, kawan?” tanya Abu Nawas.
“Kami semua tahu, kamu sering membuat Paduka Raja kewalahan. Apa pun tantangan dari Raja selalu bisa kamu kalahkan. Tapi kali ini, kami punya tantangan untukmu — kalau berani!”
Abu Nawas tersenyum tenang. “Tidak ada yang perlu ditakuti selain Allah,” jawabnya.
Temannya berkata, “Selama ini, belum ada seorang pun yang berani memantati Raja. Itu pelecehan berat, hukumannya pasti pancung.”
Abu Nawas mengangguk, “Tentu saja belum ada yang berani. Tapi kalau aku bisa melakukannya tanpa dihukum, apa hadiahnya?”
“Seratus keping emas,” jawab mereka. “Tapi syaratnya, Raja harus tertawa ketika kamu melakukannya.”
Abu Nawas tersenyum lebar. “Baiklah, aku terima tantangan itu.”
Hari yang Dinanti
Seminggu kemudian, tibalah hari jamuan besar di istana. Para menteri, pegawai kerajaan, dan tamu kehormatan telah berkumpul. Namun, Abu Nawas belum juga terlihat.
Teman-teman lamanya mulai berbisik, “Sepertinya dia takut. Akhirnya Abu Nawas kalah juga.”
Satu per satu sambutan disampaikan, hingga akhirnya tiba giliran Paduka Raja memberikan pidato penutup. Semua tamu diam menyimak.
Tiba-tiba, di tengah pidato itu, datanglah Abu Nawas. Ia tidak duduk di kursi para tamu, melainkan di atas tanah di halaman istana, paling belakang.
Raja melihatnya dan heran. “Hai Abu Nawas, majulah dan duduklah di atas karpet. Nanti pakaianmu kotor karena duduk di tanah.”
Ampun, Paduka yang mulia,” jawab Abu Nawas sopan. “Sebenarnya hamba sudah duduk di atas karpet.”
Raja bingung. “Karpet yang mana? Aku tak melihat kau membawa karpet.”
Abu Nawas menjawab, “Karpet hamba sendiri, Paduka. Sekarang hamba selalu membawanya ke mana pun pergi.”
Raja semakin penasaran. “Tunjukkan karpetmu itu,” perintahnya.
“Baiklah, Paduka yang mulia,” kata Abu Nawas sambil berdiri dan melangkah maju.
Begitu ia sampai di hadapan Raja, Abu Nawas berbalik badan dan menunduk sedikit. Tampaklah sepotong karpet kecil yang menempel di bagian belakang celananya.
Raja yang melihat pemandangan itu langsung terdiam sejenak, lalu meledak dalam tawa. “Hahaha! Abu Nawas, kau benar-benar tak pernah kehabisan akal!”
Seluruh tamu istana pun ikut tertawa terbahak-bahak.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar