Selasa, 28 Oktober 2025

Exercise Summative 4

 

1.      a.  Find 120% of 80 kg. _____________________________________________________ [1]

b.      Find 0.5% of 5000 litres. ________________________________________________  [1]

2.      a. Write $40 as a percentage of $60. __________________________________________ [1]

        b. Write 45 g as a percentage of 20 g. ________________________________________ [1]

3.      a. Increase 180 by 15%. ____________________________________________________ [1]

b. Decrease 400 by 50%. __________________________________________________ [1]

4. The mass of a child increases from 15.0 kg to 17.2 kg. Work out the percentage increase.

________________________________________________________________________

________________________________________________________________________[2]

5.      The population of a town increases from 30 000 to 80 000. Work out the percentage change.

________________________________________________________________________

________________________________________________________________________[2]

6.      a. Write 2 metres as a percentage of 50 cm. ____________________________________[1]

b. Write 60 minutes as a percentage of 4 hours. _________________________________ [1]       

7.      The price of a TV is reduced by 60%. After the reduction, the price is $180. Circle the price before the reduction from this list.

 

$ 410                              $250                            $450                                          $350          [1]






Sabtu, 25 Oktober 2025

Guru Badut


 Kelas bukan panggung hiburan, tapi taman pembentukan akhlak.

Fenomena Guru Badut

Dalam beberapa tahun terakhir, dunia pendidikan mengalami perubahan arah yang cukup mencolok. Banyak guru kini merasa dituntut untuk tampil lucu, kreatif, dan menghibur agar pembelajaran tidak terasa membosankan.

Fenomena ini dikenal dengan istilah “guru badut” — bukan dalam arti sebenarnya, melainkan sebagai simbol dari guru yang lebih fokus menghibur ketimbang mendidik. Di media sosial, banyak video guru viral karena gaya mengajarnya yang penuh tawa dan atraksi. Namun di balik semua itu, muncul pertanyaan penting: apakah siswa benar-benar belajar, atau hanya terhibur?

Kelas yang ramai, riuh dengan tawa, sering kali disalahartikan sebagai tanda keberhasilan mengajar. Padahal, suasana semacam itu belum tentu menunjukkan adanya pemahaman mendalam. Di sinilah akar masalahnya mulai tampak.

Pergeseran Makna Pendidikan

Pendidikan sejatinya bukan sekadar kegiatan menyenangkan. Ia adalah proses membentuk manusia — secara pengetahuan, karakter, dan kepribadian. Namun, ketika guru lebih dihargai karena kelucuannya daripada kedalamannya, makna pendidikan mulai bergeser.

Guru yang terlalu sibuk menghibur bisa kehilangan fokus pada tujuan utama pembelajaran, yaitu memberikan pemahaman dan membangun daya pikir kritis. Ketika nilai-nilai disiplin, tanggung jawab, dan ketegasan dianggap kuno, yang tersisa hanyalah hiburan sesaat.

Akibatnya, siswa memang menikmati proses belajar, tetapi tidak selalu mendapatkan substansi yang mereka butuhkan untuk berkembang secara intelektual dan moral.

Hakikat Seorang Guru

Seorang guru sejatinya adalah pembimbing kehidupan, bukan penghibur di kelas. Guru tidak hanya mentransfer ilmu, tetapi juga membentuk karakter, menanamkan nilai, dan menjadi teladan bagi murid-muridnya.

Menjadi guru berarti siap untuk tegas ketika perlu, dan lembut ketika dibutuhkan. Belajar tidak selalu menyenangkan — terkadang, proses yang sulit justru membentuk kedewasaan berpikir dan ketahanan diri.

Guru yang baik bukan yang paling lucu, melainkan yang paling mampu menuntun murid memahami makna belajar itu sendiri.

Antara Hiburan dan Pembelajaran

Hiburan dalam belajar sebenarnya bukan hal yang salah. Pembelajaran yang menyenangkan dapat meningkatkan minat siswa dan mengurangi tekanan. Namun, masalah muncul ketika hiburan menjadi tujuan utama, bukan sekadar sarana.

Guru perlu menemukan keseimbangan antara menyenangkan dan bermakna. Mengajar bisa tetap kreatif tanpa kehilangan kedalaman. Humor dan permainan bisa menjadi jembatan menuju pemahaman, bukan pengganti dari pemahaman itu sendiri.

Pendidikan yang baik bukanlah panggung pertunjukan, melainkan ruang pembentukan manusia.

Mengembalikan Martabat Guru

Sudah saatnya kita mengembalikan martabat guru sebagai pendidik sejati. Guru harus kembali diakui sebagai sosok yang berperan besar dalam membangun masa depan bangsa — bukan sekadar entertainer di ruang kelas.

Sekolah dan masyarakat perlu menghargai guru bukan karena seberapa lucu mereka mengajar, tetapi seberapa dalam mereka menanamkan nilai dan pengetahuan. Pendidikan sejati membutuhkan ketulusan, disiplin, dan arah moral yang jelas.

Belajar yang Sebenarnya

Belajar tidak selalu harus menyenangkan. Dalam setiap proses pembelajaran, ada kalanya kita perlu menghadapi kesulitan, kebosanan, bahkan kegagalan. Dari situlah karakter terbentuk.

“Hiburan boleh menjadi bumbu, tapi esensi pendidikan adalah pembentukan diri.”

Jika kita ingin generasi yang cerdas dan berkarakter, maka kita harus berhenti memperlakukan guru seperti badut, dan mulai menghormati mereka sebagai penerang kehidupan.

Guru sejati mengajar hati sebelum mengajar isi.

JANGAN LUPA BERPRASANGKA BAIK

Minggu, 12 Oktober 2025

Kecerdikan Abu Nawas Menaklukkan Gajah Ajaib

 

Kalah bukan karena lemah, tapi karena berhenti berpikir.

Assalamualaikum semuanya, semoga kita selalu dalam keadaan sehat dan dilancarkan rezekinya. Aamiin ya rabbal ‘alamin.

Pada suatu sore yang teduh, Abu Nawas berjalan-jalan di kampung untuk mengusir kejenuhan. Ia merasa heran karena suasana kampung begitu sepi.

“Tumben kampung ini sepi, biasanya banyak orang nongkrong di pinggir jalan,” gumam Abu Nawas.

Ia pun melangkah menuju warung yang biasanya ramai dijadikan tempat berkumpul warga. Namun, di sana juga sepi. Akhirnya Abu Nawas memutuskan untuk pulang.

Tiba-tiba, dari kejauhan ia melihat kerumunan orang di lapangan. Terdengar tawa dan tepuk tangan yang meriah.

“Pantas saja kampung ini sepi, ternyata semua orang berkumpul di lapangan,” ucap Abu Nawas penasaran.

Ia pun mendekati kerumunan itu. “Ada tontonan apa ini?” tanyanya kepada salah satu warga.
“Ada pertunjukan gajah ajaib,” jawab warga singkat.

“Gajah ajaib? Apa maksudnya?” tanya Abu Nawas makin penasaran.
“Gajah itu bisa mengerti bahasa manusia,” jawab warga tersebut.

Benar saja, di depan Abu Nawas tampak seekor gajah bersama pawangnya sedang beratraksi. Setelah atraksi usai, sang pawang menawarkan tantangan:

“Hayo, siapa yang bisa membuat kepala gajah ini mengangguk, akan saya beri hadiah besar!”

Namun sebelumnya, pawang itu telah berbisik kepada gajahnya, “Apapun pertanyaan penonton, jawab dengan menggelengkan kepala. Jika ada yang memaksa, jangan mau. Ingat, tenagamu lebih kuat daripada manusia.”

Gajah itu tampak mengerti. Satu per satu warga maju untuk mencoba berbagai cara, tapi tidak seorang pun berhasil membuat gajah itu mengangguk.

Abu Nawas yang sejak tadi memperhatikan, bergumam, “Gajah ini memang luar biasa. Kalau begitu, aku harus pakai akalku.”

Ketika gilirannya tiba, Abu Nawas berdiri di depan gajah.
Ia bertanya, “Tahukah kau siapa aku?” Gajah menggeleng.
“Apakah kau tidak takut kepadaku?” Gajah menggeleng lagi.
“Apakah kau takut kepada Tuhanmu?”

Gajah terdiam. Ia bingung. Jika menggeleng, majikannya akan marah karena dianggap berani. Tapi kalau mengangguk, berarti ia tidak patuh pada majikannya.

Melihat kebingungan itu, Abu Nawas menggertak,
“Kalau kau tetap diam, akan kulaporkan engkau kepada Tuhanmu!”

Akhirnya, karena takut, gajah itu terpaksa mengangguk. Orang-orang pun bersorak kagum. Abu Nawas berhasil memenangkan hadiah besar sore itu. Sementara sang pawang pulang dengan wajah kesal pada gajahnya.

Sejak hari itu, sang pawang berniat untuk membalas Abu Nawas. Ia melatih gajahnya lebih keras. Kali ini ia memerintahkan, “Apapun yang ditanyakan penonton nanti, kau harus mengangguk! Terutama kalau itu pertanyaan Abu Nawas.”

Beberapa hari kemudian, sayembara kembali diadakan. Kali ini syaratnya berbeda: siapa yang bisa membuat gajah menggeleng, akan diberi hadiah besar. Banyak warga mencoba, namun gagal.

Ketika semua menyerah, Abu Nawas datang. Warga pun bersorak riang, penasaran dengan akal cerdiknya. Pawang hanya melirik sinis, yakin gajahnya sudah terlatih.

Abu Nawas maju mendekati gajah.
“Tahukah kau siapa aku?” tanya Abu Nawas. Gajah mengangguk.
“Apakah kau tidak takut kepadaku?” Gajah tetap mengangguk.
“Apakah kau tidak takut kepada Tuhanmu?” Gajah kembali mengangguk.

Abu Nawas tersenyum. Ia lalu mengeluarkan bungkusan kecil berisi balsem.
“Tahukah kau apa ini?” tanya Abu Nawas. Gajah mengangguk.
“Baiklah, bolehkah aku gosok selangkanganmu dengan balsem ini?”

Gajah tetap mengangguk. Abu Nawas pun mengoleskan balsem itu. Gajah merasa panas dan mulai gelisah. Kemudian Abu Nawas mengeluarkan bungkusan balsem yang lebih besar.

“Maukah engkau jika seluruh balsem ini kugunakan untuk menggosok selangkanganmu?” ancam Abu Nawas.

Gajah yang ketakutan akhirnya lupa pada perintah majikannya. Ia pun menggeleng-geleng sambil mundur beberapa langkah. Warga bersorak gembira. Abu Nawas kembali memenangkan hadiah besar, sementara sang pawang pulang dengan rasa kecewa dan tak mau lagi mengadakan pertunjukan di kampung itu.

Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Bukan yang terkuat yang bertahan, tapi yang paling cerdas membaca keadaan.

JANGAN LUPA BERPRASANGKA BAIK

Senin, 06 Oktober 2025

LATIHAN OPTIKA

 

LANGKAH
1. CARI PANJANG RUSUK KUBUS
2. CARI PANJANG DAN TINGGI DENGAN PERBANDINGAN
3. TENTUKAN LEBAR DENGAN PERBANDINGAN VOLUME
4. BUAT PERBADINGAN KERANGKA BALOK DAN KERANGKA KUBUS
5. JAWABAN AKHIR 31 : 18


LANGKAH
1. UBAH PERSAMAAN MENJADI = 0
2. FAKTORKAN SEHINGGA MENDAPAT NILAI X1 DAN X2
3. BUAT PERSAMAAN F MENJADI 4M = X/4
4. MASUKKAN NILAI X1 DAN X2 KE PERSAMAAN NOMER 3
5.JUMLAHKAN NILAI M1 DAN M2
6.JAWABAN AKHIR -1/16













085782194148

Kamis, 02 Oktober 2025

Bajak Laut di Perahu Bocor

 

“Ketidakpastian zaman bukan alasan untuk goyah, tapi undangan untuk meneguhkan arah.”

Bayangkan kita sedang berada di sebuah perahu. Perahu itu melambangkan tempat bersama, kehidupan atau lingkungan yang kita tinggali. Tiba-tiba, perahu itu bocor. Artinya, ada masalah serius, situasi berbahaya, atau kondisi penuh risiko yang membutuhkan kerja sama semua orang di dalamnya untuk segera ditangani.

Namun, dalam kondisi genting itu, justru ada orang-orang yang hanya sibuk mengambil keuntungan untuk dirinya sendiri. Mereka bukan berusaha menambal kebocoran, tetapi malah memperburuk keadaan. Inilah yang disebut sebagai “bajak laut di perahu bocor” — orang-orang egois yang memanfaatkan situasi sulit demi keuntungan pribadi, tanpa peduli pada keselamatan bersama.


Contoh Sederhana

  • Demo damai: sekelompok orang berdemo dengan tertib untuk menyuarakan aspirasi. Tujuannya baik, yaitu memperbaiki keadaan (menambal perahu bocor). Tapi tiba-tiba ada provokator yang memicu kerusuhan. Akibatnya, demo yang awalnya damai berubah kacau. Situasi bukannya membaik, malah semakin buruk.

  • Rentenir: ketika seseorang sedang kesulitan keuangan, rentenir datang “membantu” dengan meminjamkan uang. Tapi bunganya mencekik, misalnya 50%. Bukannya menolong, justru membuat orang yang susah menjadi lebih hancur lagi.


Refleksi

“Bajak laut di perahu bocor” adalah gambaran tentang orang-orang toxic yang mengambil keuntungan di saat kita sedang kesulitan. Mereka bukan bagian dari solusi, melainkan bagian dari masalah.

Padahal, ketika perahu bocor, seharusnya semua orang bekerja sama untuk menambalnya. Kalau tidak, semua orang di perahu itu — termasuk para bajak laut — akan tenggelam bersama.

“Self-support adalah seni merangkul luka, hingga ia berubah menjadi kekuatan.”

JANGAN LUPA BERPRASANGKA BAIK

Mentalitas Kepiting: Belajar dari Eksperimen Sederhana

 

“Jangan biarkan lingkaran toxic menenggelamkanmu, jadilah cahaya yang menuntun jalanmu.”

Di sekitar kita, sering kali ada orang yang tidak senang melihat orang lain maju. Orang-orang seperti ini memiliki pola pikir yang disebut crab mentality atau mentalitas kepiting.

Istilah ini berawal dari sebuah eksperimen sederhana. Caranya:

  • Siapkan sebuah ember agak dalam.

  • Masukkan beberapa ekor kepiting hidup ke dalam ember itu.

Apa yang akan terjadi?

Setiap kepiting akan berusaha memanjat keluar untuk menyelamatkan diri. Namun, begitu ada kepiting yang hampir berhasil naik ke atas, kepiting lain justru akan menariknya ke bawah. Akibatnya, tak ada satu pun kepiting yang bisa keluar. Bahkan kadang-kadang mereka semua jatuh bersama-sama ke dasar ember.

Uniknya, meskipun ember itu tidak ditutup, kepiting-kepiting itu akan tetap berada di dalam. Mereka saling menjatuhkan satu sama lain, sehingga tidak ada yang berhasil bebas.

Inilah yang disebut crab mentality — mentalitas negatif yang ditandai dengan iri, dengki, dan tidak rela melihat orang lain berhasil.


Refleksi

Fenomena ini bukan hanya ada pada kepiting, tetapi juga pada manusia.

  • Ada orang yang tidak senang melihat temannya lebih sukses.

  • Ada yang berusaha menjatuhkan orang lain hanya agar dirinya tidak kalah.

  • Ada yang iri ketika melihat orang lain lebih unggul, padahal keberhasilan orang lain tidak merugikannya sedikit pun.

Jangan-jangan, salah satu sebab sebuah bangsa sulit maju adalah karena masih banyak orang yang terjebak dalam mentalitas kepiting ini.

Dalam bahasa agama, sikap ini berawal dari iri dan dengki — penyakit hati yang membuat seseorang tidak bahagia dengan nikmat yang dimiliki orang lain.

“Jadilah sahabat bagi dirimu sendiri, agar dunia tidak mudah meruntuhkanmu.”

JANGAN LUPA BERPRASANGKA BAIK

Filosofi Angsa

 

“Support system adalah jaring tak terlihat yang menyelamatkan kita dari jatuh terlalu dalam.”

Angsa yang terbang berkelompok memiliki perilaku unik dan penuh makna. Di Jawa, angsa sering disebut “banyak”. Saat bermigrasi, terutama di Eropa, angsa-angsa itu biasanya terbang membentuk formasi huruf V (Victory).

Formasi ini bukan sekadar kebiasaan, tetapi memiliki filosofi mendalam yang bisa kita jadikan pelajaran hidup:

  1. Efisiensi Energi
    Dalam formasi V, setiap kepakan sayap angsa di depan menciptakan dorongan angin yang meringankan beban angsa di belakangnya. Dengan cara ini, kelompok angsa bisa terbang hingga 70% lebih jauh dibandingkan jika mereka terbang sendirian.

    ➝ Pelajaran: kerja sama membuat perjalanan lebih ringan dan hasil lebih jauh.

  2. Kepemimpinan yang Bergantian
    Angsa yang berada di posisi terdepan memang menjadi pemimpin, tetapi ketika lelah, ia akan mundur ke belakang. Posisi depan lalu diambil oleh angsa lain.

    ➝ Pelajaran: pemimpin sejati tahu kapan harus mundur, memberi kesempatan, dan tidak memaksakan diri. Kepemimpinan adalah tanggung jawab bersama, bukan beban satu orang.

  3. Memberi Semangat
    Angsa yang terbang di belakang sering mengeluarkan suara keras, seolah-olah memberi dorongan dan semangat bagi angsa di depan.

    ➝ Pelajaran: kebersamaan butuh dukungan dan motivasi, agar pemimpin dan anggota sama-sama kuat.

  4. Solidaritas dalam Kesulitan
    Jika ada angsa yang sakit atau terluka hingga harus keluar dari formasi, biasanya dua angsa lain akan menemaninya turun ke bawah. Mereka akan tinggal bersama sang angsa yang sakit, baik sampai ia sembuh dan bisa terbang kembali, atau sampai mati. Baru setelah itu, keduanya akan kembali ke kelompoknya.

    ➝ Pelajaran: solidaritas sejati adalah menemani teman dalam kesusahan, bukan hanya saat senang.


Refleksi

Bayangkan, hanya dari sekawanan angsa kita bisa belajar tentang kerja sama, kepemimpinan, semangat, dan solidaritas.

Maka tidak heran, dalam Al-Qur’an Allah mengingatkan:

“Fakta-biruu ya ulil abshar”
(Maka ambillah pelajaran, wahai orang-orang yang mempunyai pandangan mendalam).

Alam semesta ini adalah tanda dan pelajaran dari Allah. Bahkan angsa yang terbang berkelompok pun mengajarkan tentang support system yang sehat, bahwa bersama-sama kita bisa lebih kuat, lebih jauh, dan lebih berarti.

“Hidup terasa ringan ketika kita belajar berbagi beban.”

JANGAN LUPA BERPRASANGKA BAIK

Aku ada karena kita ada

“Kekuatan terbesar manusia lahir dari pelukan kebersamaan.
 
Suatu ketika, seorang antropolog melakukan penelitian di Afrika Selatan. Di sebuah lapangan, ia melihat sekelompok anak-anak sedang bermain. Untuk menguji perilaku mereka, sang antropolog lalu membeli satu keranjang penuh buah dan meletakkannya di pinggir lapangan.

Ia berkata kepada anak-anak itu:

“Ayo, siapa yang paling cepat sampai ke keranjang ini, dialah yang akan mendapatkan semua buahnya!”

Sang antropolog membayangkan anak-anak itu akan berlari secepat mungkin dan berebut buah. Namun, yang terjadi justru mengejutkannya.

Anak-anak itu saling merangkul, berjalan bersama-sama menuju keranjang, lalu duduk melingkar. Mereka membagi buah itu secara merata dan memakannya bersama-sama dengan gembira.

Keheranan, sang antropolog bertanya:

“Kenapa kalian tidak berlomba untuk memenangkan buah ini sendiri-sendiri?”

Salah seorang anak menjawab dengan satu kata: “Ubuntu.”

Lalu ia menjelaskan,

“Aku ada karena kita ada. Mana mungkin aku merasa bahagia sendiri kalau teman-temanku sedih? Bagaimana aku bisa puas sendiri kalau mereka tidak mendapat apa-apa? Kalau aku sedih, mereka pun ikut sedih. Kalau mereka bahagia, aku juga bahagia. Kami saling membuat satu sama lain ada.”

Cerita ini menjadi refleksi mendalam bagi sang antropolog. Ia menyadari bahwa kehadiran kita tak pernah berdiri sendiri. Kita ada karena ada orang lain di sekitar kita, sebagaimana mereka ada karena kita juga.

“I am because we are — Aku ada karena kita ada.”

“Sahabat sejati adalah ia yang tetap duduk di sampingmu ketika dunia berpaling darimu.”

JANGAN LUPA BERPRASANGKA BAIK