Ia berkata kepada anak-anak itu:
“Ayo, siapa yang paling cepat sampai ke keranjang ini, dialah yang akan mendapatkan semua buahnya!”
Sang antropolog membayangkan anak-anak itu akan berlari secepat mungkin dan berebut buah. Namun, yang terjadi justru mengejutkannya.
Anak-anak itu saling merangkul, berjalan bersama-sama menuju keranjang, lalu duduk melingkar. Mereka membagi buah itu secara merata dan memakannya bersama-sama dengan gembira.
Keheranan, sang antropolog bertanya:
“Kenapa kalian tidak berlomba untuk memenangkan buah ini sendiri-sendiri?”
Salah seorang anak menjawab dengan satu kata: “Ubuntu.”
Lalu ia menjelaskan,
“Aku ada karena kita ada. Mana mungkin aku merasa bahagia sendiri kalau teman-temanku sedih? Bagaimana aku bisa puas sendiri kalau mereka tidak mendapat apa-apa? Kalau aku sedih, mereka pun ikut sedih. Kalau mereka bahagia, aku juga bahagia. Kami saling membuat satu sama lain ada.”
Cerita ini menjadi refleksi mendalam bagi sang antropolog. Ia menyadari bahwa kehadiran kita tak pernah berdiri sendiri. Kita ada karena ada orang lain di sekitar kita, sebagaimana mereka ada karena kita juga.
“I am because we are — Aku ada karena kita ada.”
“Sahabat sejati adalah ia yang tetap duduk di sampingmu ketika dunia berpaling darimu.”
JANGAN LUPA BERPRASANGKA BAIK
.jpg)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar